Saya tertarik sekali menanggapi Surat Cinta Sejatiku Buat Presiden Dan Wakil Presiden yang pernah diposting oleh Nurmayanti Zain, sepertinya saya sedikit mengerti misi dari sang penulis yang terdapat pada surat tersebut, InsyaAllah.
Memang meresahkan sekali melihat fakta yang terpampang di negara kita ini sejak adanya Demokrasi (Salah satu rekaan Barat yang paling berhasil digunakan untuk mewujudkan ambisi-ambisi mereka).
STANDAR KEBENARAN DEMOKRASI : SUARA MAYORITAS
hattaa idzaa jaa-a amrunaa wafaara alttannuuru qulnaa ihmil fiihaa min kullin zawjayni itsnayni wa-ahlaka illaa man sabaqa 'alayhi alqawlu waman aamana wamaa aamana ma'ahu illaa qaliilun
inna haaulaa-i lasyirdzimatun qaliiluuna
faistakhaffa qawmahu fa-athaa'uuhu innahum kaanuu qawman faasiqiina
ya'rifuuna ni'mata allaahi tsumma yunkiruunahaa wa-aktsaruhumu alkaafiruuna
awa kullamaa 'aahaduu 'ahdan nabadzahu fariiqun minhum bal aktsaruhum laa yu’minuuna
walaqad sharrafnaahu baynahum liyadzdzakkaruu fa-abaa aktsaru alnnaasi illaa kufuuraan
wataraa katsiiran minhum yusaari'uuna fii al-itsmi waal'udwaani wa-aklihimu alssuhta labi'sa maa kaanuu ya'maluuna
wamaa yattabi'u aktsaruhum illaa zhannan inna alzhzhanna laa yughnii mina alhaqqi syay-an inna allaaha 'aliimun bimaa yaf'aluuna
Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Yunus [10] : 36)
wamaa yu'minu aktsaruhum biallaahi illaa wahum musyrikuuna
qaala laqad zhalamaka bisu-aali na'jatika ilaa ni'aajihi wa-inna katsiiran mina alkhulathaa-i layabghii ba'dhuhum 'alaa ba'dhin illaa alladziina aamanuu wa'amiluu alshshaalihaati waqaliilun maa hum wazhanna daawuudu annamaa fatannaahu faistaghfara rabbahu wakharra raaki'an wa-anaaba
Daud berkata: “Sesungguhnya dia telah berbuat lalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan seseungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. (QS. Shaad [38] : 24)
wamaa lakum allaa ta'kuluu mimmaa dzukira ismu allaahi 'alayhi waqad fashshala lakum maa harrama 'alaykum illaa maa idthurirtum ilayhi wa-inna katsiiran layudhilluuna bi-ahwaa-ihim bighayri 'ilmin inna rabbaka huwa a'lamu bialmu'tadiina
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-An’am [6] : 119)
wa-idz akhadznaa miitsaaqa banii israa-iila laa ta'buduuna illaa allaaha wabialwaalidayni ihsaanan wadzii alqurbaa waalyataamaa waalmasaakiini waquuluu lilnnaasi husnan wa-aqiimuu alshshalaata waaatuu alzzakaata tsumma tawallaytum illaa qaliilan minkum wa-antum mu'ridhuuna
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS. Al-Baqarah [2] : 83)
falammaa fashala thaaluutu bialjunuudi qaala inna allaaha mubtaliikum binaharin faman syariba minhu falaysa minnii waman lam yath'amhu fa-innahu minnii illaa mani ightarafa ghurfatan biyadihi fasyaribuu minhu illaa qaliilan minhum falammaa jaawazahu huwa waalladziina aamanuu ma'ahu qaaluu laa thaaqata lanaa alyawma bijaaluuta wajunuudihi qaala alladziina yazhunnuuna annahum mulaaquu allaahi kam min fi-atin qaliilatin ghalabat fi-atan katsiiratan bi-idzni allaahi waallaahu ma'a alshshaabiriina
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 249)
qaala ara-aytaka haadzaa alladzii karramta 'alayya la-in akhkhartani ilaa yawmi alqiyaamati la-ahtanikanna dzurriyyatahu illaa qaliilaan
(Iblis berkata), “terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai Hari Kiamat, niscaya akan aku sesatkan anak keturunannya, kecuali sebagian kecil.”(QS. Al-Isra [17] : 62)
ya'maluuna lahu maa yasyaau min mahaariiba watamaatsiila wajifaanin kaaljawaabi waquduurin raasiyaatin i'maluu aala daawuuda syukran waqaliilun min 'ibaadiya alsysyakuuru
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih. (QS. Saba [34] : 13)
Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Akan tetapi, kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan Manhaj Rabbani yang diturunkan dari langit. Firman Allah Swt :
afaman kaana 'alaa bayyinatin min rabbihi wayatluuhu syaahidun minhu wamin qablihi kitaabu muusaa imaaman warahmatan ulaa-ika yu/minuuna bihi waman yakfur bihi mina al-ahzaabi faalnnaaru maw'iduhu falaa taku fii miryatin minhu innahu alhaqqu min rabbika walaakinna aktsara alnnaasi laa yu'minuuna
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur’an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur’an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur’an. Dan barang siapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur’an itu. Sesungguhnya (Al Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS. Hud [11] : 17)
Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas sekalipun yang menang tersebut kaum muslim. Ukuran kebenaran juga bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut. Islam telah memiliki Manhaj Rabbani, satu-satunya pelindung bagi manusia.
Dari sinilah, para shalaf ash-shalih tatkala menafsirkan kata al-jama’ah yang termaktub dalam hadist Nabi saw dengan makna konsisten (iltizam) dalam kebenaran (al-haq), walaupun anda seorang diri.
Abu Syamah berkata dalam kitabnya al-Ba’its halaman 22 : Ketika datang perintah untuk menetapi jamaah, yang dimaksud adalah tetap konsisten dalam kebenaran (al-haq) dan selalu mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh pada kebenaran sangat sedikit dan para penentangnya sangat banyak. Kebenaran (al-haq) itulah yang dipegang oleh jamaah yang pertama, yaitu Rasulullah saw dan para sahabat ra, tanpa melihat lagi banyaknya pengikut kebatilan.
Imam Bukhari menafsirkan kata al-jama’ah dengan makna yang ahli dalam fkih dan ulama. Beliau berjata dalam bab (Demikianlah Allah menjadikan kalian umat yangadil (ummatan wasathan), “Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk mengikuti jama’ah, maksudnya adalah mengikuti ahlul ‘ilmi.”
Imam Tarmidzi berkata mengenai tafsir dari kata jama’ah : Menurut ahlul ‘ilmi yang dimaksud dari kata jama'ah adalah ulama yang memiliki kedalaman ilmu (ahl al-‘ilm), pakar dalam fikh (ahl al-fiqh), dan pakar dalam hadist (ahl al-hadist).
Ibnu Sinan menafsirkan al-jama’ah adalah orang yang memiliki kedalaman ilmu (ahl al-‘ilm) dan para ahli hadist (ash-habul atsar)
Walaupun ulama berbeda pendapat mengenai tafsir dari kata al-jama’ah tetapi mereka semua kembali pada makna yang satu, yaitu siapa saja yang meneladani keadaan dan hal ihwal Rasulullah dan para sahabat. Sama saja apakah jumlah mereka sedikit ataupun banyak, walaupun umat berbeda-beda dalam kondisi, tempat dan jamannya. Karena itu, Abdullah bin Mas’ud berkata mengenai kata al-jama’ah, “Apa saja yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) walaupun anda seorang diri.” Dalam lafadz lain, al-jama’ah adalah “apa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walau anda dalam keadaan seorang diri.”